Begini, aku pernah dalam kondisi psikis yang sangat drop. Bagaimana tidak, melihat orang lain dengan kesuksesannya. Sementara kita belum bisa menikmatinya. Begitulah.. bila kita selalu melihat ke atas, melihat kesuksesan orang tanpa melihat perjuangannya. Menjadikan kita menjadi kufur nikmat. Aku termasuk orang yang jarang merasa terpuruk terutama dipengaruhi oleh kondisi orang lain. Tapi, kenapa bisa saat itu terpuruk?
Mungkin emang saat itu berada pada posisi bener-bener depresi, atau apalah kurang paham. Ceritanya waktu itu sedang mengambil duit di ATM di sebuah minimarket. Tanpa sengaja bertemu temen jaman STM. Yang perlu diketahui, mungkin jaman STM aku termasuk anak cupu, kurang gaul, kurang nongkrong dan selalu jadi pusat bullying orang lain. Apalagi untuk seorang anak yang alhamdulillah rajin dan alhamdulillah juga diberi kenikmatan untuk mudah memahami pelajaran, plus punya postur tubuh yang kecil, maka tak jarang sering dimanfaatin teman – teman untuk garapin tugas. Bila menolak, udah pasti berbagai bentuk kejailan teman pernah aku alami. Nah, kebetulan teman yang ketemu di minimarket tersebut merupakan salah satu orang yang sering membully diriku. Tapi apa yang nampak pada dirinya sehingga aku merasa ngedrop begitu?
Pada pertemuan tersebut, aku dan dia sama – sama dalam keadaan sedang bekerja. Aku yang pekerjaannya di dunia lingkungan jelas bebas memakai pakaian apapun, asalkan nyaman. Pun saat itu aku hanya menggunakan kaos oblong – celana trainning – sandal jepit. Sementara dia bekerja di salah satu lembaga keuangan. Pakaian necis menempel di badannya. Kemeja – dasi – celana dengan bekas setrikaan yang rapi ditambah sepatu pantofel. Sekilas kaget. Saling ngobrol layaknya kawan yang lama tak jumpa. Di akhir pertemuan, dia minta dibeliin snack dan minuman. Masih sama seperti saat STM. Tapi aku juga ga bisa nolak, bukan karena merasa terpojok seperti jaman STM, tapi emang karena sudah kebiasaan dengan teman – teman di dunia lingkungan untuk saling berbagi.
Begitu perpisahan dan aku kembali mengendarai motorku, sementara dia kembali naik mobilnya dimana sudah ditunggu sopir, semua bayangan jaman – jaman sekolah kembali terulang. Saat itulah perasaat terpuruk mulai merasukiku. Pertanyaan – pertanyaan yang membuatku hilang rasa syukur menyergapku. Kenapa yang orang pintar malah dapat pekerjaan hanya seperti ini, tak terlihat perlente sama sekali di depan orang, sama sekali tak menaikan status sosialku. Ditambah lagi bayangan – bayangan kawan kuliah. Aku (yang alhamdulillahnya bisa melanjutkan kuliah S2) kenapa hanya begini saja. Sementara teman –temanku yang hanya sampai jenjang kuliah S1 mampu menduduki jabatan – jabatan penting di perbankan. Teringat pula saat dulu jaman kuliah, tiap ada tugas kuliah, mereka selalu memenuhi kamar kost 3 x 3 meterku untuk sekedar belajar bagaimana memecahkan tugas. Mereka yang tiap ujian semester maupun tengah semester rela menunggu aku pulang kerja jam 12 malam untuk kembali belajar pemecahan soal. Terkadang, yang datang ke kostan bergantian. Gak jarang juga mereka bergantian datang, bahkan sampai subuh, sampai jam 7 pagi tetap ada yang bergantian untuk belajar ke kostku. Dan saat ini mereka telah sukses dengan gaji bulanan yang entah berapa karena emang aku ga pernah menanyakan gaji seseorang. Sementara, aku masih seperti ini, tiap hari bersandal jepit, celana trainning atau kadang memakai celana jeans, juga kaos oblong. Bahkan beberapa kemeja formal dan kemeja batik sama sekali ga pernah aku pakai, kecuali untuk kondangan. Bahkan pula sepatu pantofel sampai pecah – pecah saking lamanya ga aku pakai.
Di keadaan yang seperti itu tak terasa air mata mengalir deras. Menyalahkan Tuhan, itu jadi salah satu menunya. Pertanyaan mengapa dan mengapa menemani perjalananku sampai di lokasi aku mengabdikan diri pada masyarakat.
Sepulang dari lokasi pemberdayaan masyarakat, aku mampir ke rumah salah satu kawan. Kawan yang awalnya dipertemukan karena pekerjaan, namun karena berbagai kecocokan akhirnya jadi kawan berbagi ide. Kawan yang satu ini pada saat awal bertemu dalam pikiranku bilang: “Aku pengen berteman dengan dia”. Biasanya emang seperti itu, seseorang yang “diridhoi” oleh hati untuk menjadi kawan dekat itu selalu ada semacam keinginan hati untuk dekat sejak pertama ketemu.
Pada perjumpaan dengan kawanku itu berbagai ide dan harapan muncul dari dia dan dari aku. Ide – ide yang berkaitan dengan lingkungan, keinginan yang biasanya harus dibuktikan sendiri oleh si punya inisiatif. Keinginan tentang terobosan – terobosan baru, keinginan – keinginan yang biasanya selalu diragukan oleh orang lain. Di kesempatan tersebut malah aku lebih banyak diam, lebih banyak berfikir yang akhirnya lebih banyak rasa syukur.
Men… memang pekerjaanku seperti ini, pakaianku seperti ini, gajiku ga seberapa dibanding kawan – kawanku di luaran sana. Tapi apa mereka seberuntung aku memiliki kawan – kawan dengan berbagai ide briliant? Apa mereka seberuntung aku memiliki kawan – kawan yang lebih sering mikirin orang lain, mikirin lingkungan, mikirin nasib bumi, mikirin nasib anak – cucu kelak dibanding memikirkan diri mereka sendiri? Mungkin aku seperti ini, tapi apa mereka bisa seberuntung aku untuk menentukan kapan mesti nyantai? Kayaknya untuk liburan pun mereka musti mengalokasikan waktu mereka 3 bulan sebelumnya, sementara kapanpun aku pengen liburan, aku tinggal bilang temen: bosen, kemana yuk? Dan mereka dengan senang hati buat ngasih rekomendasi tempat liburan. Apakah mereka bisa bebas menjadi diri mereka sendiri, sementara penampilan berantakan sedikitpun bisa berpengaruh pada jabatan mereka, sehingga tak jarang mereka menghabiskan waktu mereka untuk perawatan wajah dan tubuh.
Pertemuan tersebut sungguh menyadarkanku bahwa aku jauh lebih beruntung ketimbang teman – temanku yang lain. Rasa syukur kembali mengalir pada diriku. Ditambah dengan berbagai artikel tentang bahaya riba dan lain – lain yang membuatku jauh lebih bersyukur, biarpun gaji kecil tapi insha Allah jauh dari murka Illahi. Dan lagi pertemuan itu membuatku beristighfar, sempat ada rasa sombong dalam diriku, merasa aku lebih baik dari orang lain saat membandingkan diri ini waktu STM dan kuliah.
Dan lebih penting lagi: “Bahwa nikmat dan rezeki itu bukan melulu soal materi, memiliki kawan – kawan baik, yang berkualitas, serta mereka yang mau mengingatkan kita saat kufur nikmat serta menunjuki kita jalan yang lurus itu jauh lebih nikmat dibanding sebatas materi”.
Terima kasih Ya Rohman Ya Rohim untuk karunia – Mu yang tak kan pernah terhitung, walaupun harus menghitung banyaknya pasir di pantai, tak kan mampu melebihi kuasa – Mu.
Content from : Widodo S.p
0 Komentar