Holla! Aku akhirnya berhenti bermalas-malasan dan mempersembahkan jurnal perjalananku di akhir tahun 2022 lalu. Tepatnya pada 24 Desember 2022 dan baru sempet ditulis di tahun 2023 ini ☹
Sebenarnya sudah berminggu-minggu sebelum acara, aku mendapatkan undangan dari Mang Ceceng (seorang pemerhati budaya asal Dayeuhluhur). Sempat ragu saat itu untuk hadir, soalnya cuaca sedang tidak bersahabat. Setelah berfikir cukup lama, akhirnya aku putuskan untuk menghubungi teman-temanku agar mereka juga ikut ke Dayeuhluhur. Oh ya, disana kita akan menghadiri acara ritual adat ‘Ritus Tundan’ atau orang sini menyebutnya dengan sebutan ‘Ogoh Ogohan’. Ritual adat yang konon sudah dijalankan sejak ratusan tahun lalu. Tujuannya untuk mengusir hama saat padi hampir berbui. Dayeuhluhur sendiri merupakan kecamatan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang terletak paling barat, atau berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat. Jadi warga disini lebih kental menggunakan Bahasa Sunda dibandingkan dengan Bahasa Jawa ‘Ngapak’ khas Cilacap.
Lanjut cerita, usai menyiapkan segala persiapan, pukul 15.00 WIB, aku dan tiga temanku mulai melakukan perjalanan dari Cilacap kota menuju Dayeuhluhur, tepatnya di Desa Cijeruk. Sebenarnya, ritual adat ini akan dilaksanakan pada hari Minggu 25 Desember 2022, tepat saat perayaan Hari Natal. Namun kita memutuskan berangkat satu hari lebih cepat, untuk sekedar silaturahmi dan camping bersama teman-teman serta warga setempat. Sebagian teman-teman yang lain pun sudah banyak yang sampai disana.
Waktu normal perjalanan menuju Dayeuhluhur hanya membutuhkan waktu 2,5 jam. Namun karena hujan deras dan banyak jalan berlubang, waktu normal itu tidak bisa kami tempuh. Menjelang Magrib pun kami putuskan untuk singgah di rumah rekan kami di Kecamatan Wanareja, kebetulan, disana ada dua rekan kami yang juga akan ikut. Selepas sholat Maghrib pun kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan, namun karena perut sudah lapar, akhirnya kami sepakat untuk mencari makan dulu. Warung rames depan alun-alun Wanareja, yang kata temanku enak ini, menjadi pilihan kami. Ternyata memang benar, rasanya enak dan sangat ramah dikantong.
Usai perut terisi kenyang, kami kembali memacu sepeda motor. Alhamdulillah nya malam itu hujan tidak turun, jadi perjalanan kami menuju titik tujuan pun sepertinya akan nyaman dan lancar. Sepanjang perjalanan aku mengobrol dengan temanku. Karena temanku ini baru pertama kali ikut ke Dayeuhluhur, aku pun menceritakan pengalamanku saat berada di Dayeuhluhur dan sedikit menceritakan mitos yang ada di tempat tersebut. Ada satu mitos yang sampai saat ini memang sering terjadi, jadi jika ada orang baru yang datang ke Dayeuhluhur, maka akan disambut dengan gerimis. Sudah beberapa kali aku mengajak temanku yang pertama kali datang, dan memang itu benar-benar terjadi.
Ternyata kali ini pun mitos tersebut kembali terjadi. Setelah sampai di daerah atas Dayeuhluhur, hujan kecil pun kembali turun, padahal di bawah langit begitu terang. Wilayah Daeyeuhluhur ini memang berada di pegunungan, jadi jalan yang kita lalui pun terbilang ekstrem, tidak hanya menanjak tapi juga berkelok dan gelap. Bahkan kanan kirinya masih banyak hutan dan jurang. Jadi sebelum kesini, pastikan kendaraan dalam kondisi prima. “Ini kalau malam memang gelap gak kelihatan pemandangannya, coba aja kalau pagi hari, pasti pemandangannya bagus” aku meyakinkan temanku bahwa Dayeuhluhur memiliki pemandangan yang apik dan menarik.
Setelah bertaut dengan gelapnya malam bahkan kami pun sempat nyasar, akhirnya kami sampai di lapangan Desa Cijeruk. Karena tidak tahu lokasi camping, kami menunggu temanku untuk menjemput. Tidak ada lima menit, akhirnya temanku sampai dengan sepeda motor dan celana yang belepot dengan lumpur. Wahh…fellingku sudah gak enak nih, jangan-jangan tempat camp kami ini bakalan jauh dari peradabadan. Dan ternyata benar, untuk sampai ke areal camp, harus melewati hutan, jalan lumpur, batu yang licin karena hujan dan jambatan kayu yang keropos, ditambah dengan kondisi jalan yang gelap gulita. Aku pun terus fokus mengendari motor, berusaha tenang supaya temanku tidak panik. “Sial, kapan sampainya” aku terus membatin sepanjang perjalanan.
salah satu jalannya yang cukup ekstrim |
Sebenarnya, aku sering sekali ngecamp, tapi ini adalah rute terekstrem yang pernah aku lalui. Belum lagi, jembatan kayu di lokasi tersebut rusak. Jadi tidak bisa dilewati oleh kendaraan. Terpaksa motor kami parkirakan di tengah hutan. Untuk sampai di area camp, kami masih harus berjalan lagi. Waktu sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. Hujan malam itu pun semakin deras, jalanan yang semakin gelap, nafas yang sudah tidak mulai teratur, haus dan lelah yang sudah dirasakan sepanjang perjalanan bertaut menjadi satu. 20 menit kami berjalan, dan akhirnya sudah ada tanda-tanda lampu temaram di tengah hutan itu. Saut-sautan suara anak-anak pun menjadi obat rasa lelahku. “Akhirnya sampai juga” kataku ke teman-temanku.
suasana area camp malam hari |
Beberapa peralatan untuk ritual besok pagi pun sudah dipersiapkan di lokasi, sudah ada sekitar delapan tenda yang terpasang. Satu sisa tenda kosong yang memang dipersiapkan untuk kami, tapi sayangnya, kondisi tenda yang basah dan tanpa matras itu membuat pikiranku semakin gelisah. “Aku tidak bisa tidur kalau seperti ini” batinku dalam hati. Ahhh pikir nanti saja, aku harus menyapa teman-teman lain yang sudah sampai disini dahulu. Mang Ceceng pun ternyata sudah ada di lokasi sejak pagi hari. Dia yang paling semangat menyiapkan perlengkapan camp kami. Tapi sayangnya kenapa lokasinya harus jauh dari peradaban dan tidak ada toilet ☹, buat kita kita yang sudah kurang minat camp di lokasi yang jauh peradaban gini cukup anu sih, pengennya camp yang deket warung terus air bersih nya lancar dan ga jalan terlalu jauh, ya karna kita ini pemuda pemuda jompo jadi kalo bisa camp yang deket dengan kendaraan..
Usai chit chat, sapa menyapa dengan Mang Ceceng dan teman-teman lainnya, aku dan teman-temanku yang tadi berangkat bersama berdiskusi untuk pindah tempat ke rumah warga, yang juga merupakan salah satu tetua adat setempat. Setelah deal, akhirnya kami ‘boyongan’ untuk kembali mengambil motor dan keluar dari hutan tersebut. Energi kami sebenanrnya sudah mulai habis, jam pun sudah menunjukan pukul 23.00 WIB, hampir tengah malam. Tapi karena tidak ingin kedinginan di tenda, kami berusaha mengumpulkan sisa energi untuk keluar dari hutan itu.
penampakan camp area waktu siang hari |
Saat menuju rumah warga setempat, kami berhenti di warung, membeli mie instan untuk dimasak disana. Soalnya, setelah energi terkuras karena harus jalan menyusuri hutan, perut kami mulai keroncongan. Sesampainya kami sampai di rumah tersebut, pemilik rumah Aki Karta menyambut kami dengan tawa karena melihat muka kami yang sudah lelah. Usai bersih – bersih kaki yang banyak lumpur ini, kami pun mulai merebahkan badan di atas karus yang berada di depan teras. Sebelum tidur, kami putuskan untuk memasak mie instan dan bersendagurau. Rasanya energiku ini sudah tercharger, semangat untuk mengikuti ritual Ritus Tundan esok hari
Cukup sampai sini dulu ceritanya di hari pertama
tungguin cerita hari kedua kita di Dayeuhluhur di Part 2 yaa
0 Komentar