Ikut Acara Ritual Adat ‘Ritus Tundan’ di Dayeuhluhur – Part 2

Mataku mulai terbuka saat adzan subuh berkumandang. Aku langsung bangkit menuju kamar mandi, mengambil air wudhu dan bersiap untuk mengikuti ritual Ritus Tundan. Secangkir kopi hitam dan surabi panas pun sudah disiapkan oleh Aki Karta. Tak sampai lima belas menit, surabi panas itu sudah habis dilahap oleh kami ber enam. Waktu menunjukan pukul 07.00 kami semua bersiap menuju lapangan Desa Cijeruk. Katanya, semua warga tani di desa ini sudah berkumpul di lapangan untuk melakukan ritual. Kendaraan pun mulai kami gas, senyum ramah warga setempat dan pemandangan pegunungan yang indah pun menghiasi perjalanan kami menuju lapangan. Beberapa momen di perjalanan pun kami abadikan, karena tak ingin terlupakan di memori digital.

Sesampainya di lapangan. Sejumlah warga sudah mulai mempersiapkan barang bawaan. Ada yang membawa tas ransel, ada yang membawa tas rantang makanan, adapula yang membawa golok. Sebelum kami berjalan (lagi) ke tempat tujuan ritual yakni Muara Sungai Banekong, tetua adat setempat memulainya dengan membaca doa dan membakar beberapa barang ritual. Akupun tidak tahu apa saja yang beliau bakar. Perjalanan menuju tempat ritual pun dimulai, kami diminta untuk membawa kentongan, bebegig atau orang-orangan sawah dan atribut lainnya. Aku kebagian untuk membawa kentongan.




Satu persatu langkah kaki mulai melangkah. Seperti tidak ada beban, para warga setempat berjalan dengan cepat, mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan jalur ini. Padahal jalur yang kita lalui ini, adalah jalur yang semalam aku lewati dengan susah payah. Kondisi jalan pun belum membaik, masih banyak tanah berlumpur dan batu yang licin, kalau tidak hati-hati bisa terpeleset. Sepanjang perjalanan pun kami disuguhi oleh pemandangan yang ciamik, hamparan sawah yang berterasiring, gemricik aliran air dari sungai setempat serta beragam jenis tanaman yang ada di desa ini.

Usai bertemu di tempat camp semalam, akhirnya kami dan ratusan warga lain mulai kembali melanjutkan perjalanan. Yang benar saja, kami harus melewati sawah yang susahnya minta ampun dilewati. Bahkan aku harus rela melepaskan sandal karena terhisap oleh tanah yang berlumpur. Beberapa kali teman-temanku juga terpeleset saat lewati medan ini. Sudah satu jam perjalanan, dan ternyata masih harus melewati hutan lagi. Bahkan jalan di hutan tersebut, juga baru saja dibuat oleh warga setempat tadi pagi untuk dilewati. Jadi benar-benar seperti berada di dalam film A Quiet Place, cuma bedanya ini gak horor.

Jalanan di hutan pun tidak semulus yang dibayangkan, karena kita harus fokus dan sesekali melihat ke bawah, jangan sampai menginjak hewan berbahaya maupun tersandung batang pohon. Bahkan jalan di hutan ini pun tidak lurus-lurus saja, tapi juga berkelok, naik dan turun. This is my first experience. Sudah hampir dua jam berjalan, dan masih belum sampai juga. Kentongan yang tadinya semangat ku bunyikan pun mulai meredup. Aku fokus menyusuri hutan ini. Namun tak lama, suara deru air sungai mulai terdengar, tandanya kita sudah hampir sampai pada titik tujuan.

Aku kembali dibuat kagum oleh pemandangan yang ada di depanku ini. Mungkin bisa dibilang, banyak surga tersembunyi di Dayeuhluhur. Seperti Muara Sungai Banekong yang benar-benar hidden gem ini. Setelah berkutat dengan hiruk pikuk kota, menepi ke sini tidak ada salahnya. Bahkan jika harus melewati jalur tadi pun akan aku lakukan. Setelah semuanya berkumpul, Mang Ceceng dan tetua adat setempat memulai ritual Ritus Tundan. Sebelum dimulai ritual, Bu Ida, perwakilan dari Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Cilacap memberikan sepatah dua kata sambutan.




Sebenarnya, banyak ritual di Dayeuhluhur yang juga menjadi event wisata. Salah satunya ritual Sedekah Ketupat. Ritual yang dilaksanakan pada Rebo Wekasan ini, sudah dilaksanakan sejak abad 16, ketika pasukan Siliwangi bersiap berperang melawan pasukan Kerajaan Demak. Jadi, masyarakat setempat akan menjamu dan manjamin keselamatan setiap tamu yang ada di Dayeuhluhur dengan menggantung ketupat di sepanjang perjalanan.. Tidak hanya itu, ada ritual Ngabeungkat Dawuan atau ritual membersihkan saluran perairan untuk pertanian yang sudah lolos sebagai warisan budaya tak benda.

Kembali ke cerita ritual Ritus Tundan, setelah tetua adat melakukan ritual dengan doa-doa, bebegig yang kita bawa tadi dibakar, miniatur babi hutan dan tikus sawah yang sebelumnya dibuat oleh warga pun ikut dibakar. Ritual tersebut menyimbolkan bahwa tidak akan ada hama yang menyerang padi saat akan berbui. Ritual ini pun setiap tahun dilaksanakan, bahkan sempat pernah  tidak dilaksanakan sekali saat itu, dan hasil panen padi warga berkurang drastis, yang tadinya menghasilkan 60 karung, hanya mendapatkan 20 karung. Sejak kejadian itu, ritual Ritus Tundan terus dilaksanakan.

orang oragan sawah ini dibuang ke sungai



Usai semua dibakar dan orang oragan sawah ini dibuang ke sungai, tibalah saatnya momen yang paling ditunggu yaitu syukuran alias makan-makan. Maklum surabi yang tadi pagi kami makan hanya bertahan setengah jam diperut hehe…

Bersama-sama kami makan makanan yang dibawa warga setempat. Ini adalah makanan ternikmat, makan dalam keadaan lapar, ramai-ramai, dan dengan suasana hangat. Usai selesai dengan ritual dan lain sebagainya, kami pun mulai berjalan pulang, jalur yang kita tempuh pun sama dengan  jalur keberangkatan. Di tengah perjalanan, Mang Ceceng kembali menunjukan salah satu peninggalan sejarah di Dayeuhluhur.  Ternyata di hutan itu, ada benteng peninggalan Belanda yang katanya luasnya hampir sama seperti Benteng Pendem di Cilacap. Tapi sayangnya, benteng tersebut tertutup oleh semak bekular dan tidak terawat.

Perjalanan pun kami lanjutkan, aku teringat kalau sandalku aku tinggal di sawah. Namun setelah kembali ke sawah tadi, ternyata hanya tersisa satu sandal saja, aku dan teman-temanku pun sempat mencari tapi hasilnya tetap nihil. Yasudah dengan berat hati aku hanya pulang membawa satu sandal, padahal belum lama aku beli sandal itu ☹

Sebelum pulang ke Cilacap, kami sempatkan mampir untuk mandi di sungai. Sungai yang kami kunjungi ini letaknya berada di perbatasan Desa Cijeruk. Tidak afdol ke Dayeuhluhur jika tidak mandi di sungainya. Selain airnya yang segar, air di sungai ini juga begitu jernih. Apalagi dari semalam, kita belum mandi, jadi kita putuskan untuk mandi sekalian di sungai itu.





Sekitar pukul 14.00 WIB, kami mampir di basecamp anak-anak (teman main). Tidak hanya kami berempat, ada sekitar 10 orang teman-teman yang juga ikut bergabung. Di basecamp ini kami disuguhi oleh sejumalah makanan enak, mulai dari gorengan, hingga ikan goreng yang baru saja diambil dari tempat pemancingan. Karena asik bercengkrama, tak terasa waktu sudah menujukan pukul 17.00 WIB saat itu, aku dan ketiga rekanku memutuskan untuk undur diri terlebih dahulu, karena harus melanjutkan perjalanan pulang ke Cilacap kota. Sebelum pulang, Mas iki membawakan kami Cipala, minuman dari pala khas Dayeuhluhur yang berkhasiat untuk kesehatan dan dapat menghangatkan badan. Usai say good bye, kami pun berfoto bersama, dan sedikit memberikan surprise kepada Mang Hendrik karena hari itu dia berulang tahun.

Perjalanan pulang kami pun kembali ditemani oleh derasanya hujan. Dan sekitar pukul 21.30 WIB kami akhirnya sampai di Cilacap kota.

In conclusion, Dayeuhluhur memiliki banyak sekali aset budaya, bahkan masyarakatpun sangat menjunjung tinggi adat istiadat. Berkunjung ke Dayeuhluhur seperti pulang ke kampumg halaman, disapa oleh keramahan dan kehangatan warganya. Semoga teman-teman pembaca ingin datang beriwisata dan mengenal keberagaman budaya yang ada di Dayeuhluhur.

Buat teman-teman yang masih mau melihat keseruan perjalanan kita ke dayeuhluhur, kalian bisa tonton video perjalanan ini di youtube ya

Sekian dan terima kasih, yang belum baca Part 1 bisa baca disini
Sampai jumpa lagi di Catatan Perjalanan yang lainnya di blog Manggaul.com yaa

Posting Komentar

0 Komentar